Senin, 07 Mei 2012

Renah Kemumu, Desa Tua di Rimba Raya
 
 Hamparan sawah dan pepohonan lebat menjadi pemandangan di salah satu sudut Desa Renah Kumumu, Kecamatan Jengkat, Kabupaten Merangin, Jambi.
Oleh Agung Setyahadi & Ahmad Arif
”Auuum...”. Suara berat memecah riuh hutan. Kicau burung, jerit serangga, dan teriakan monyet menghilang tiba-tiba. Hutan mendadak sunyi. Kesunyian yang mencekam dan menciutkan nyali.
Aleksander (28) berhenti melangkah. Pemuda dari Desa Lempur Mudik, Kerinci, Jambi, itu menoleh ke belakang, memastikan keberadaan seluruh anggota rombongan. ”Ayo merapat, jalan beriringan,” ujar Alek singkat.
Kami berlima baru berjalan tiga jam dari Lempur Mudik saat auman dari Sang Raja Hutan, harimau sumatera (Panthera Tigris sumatraensis) itu terdengar. Suaranya begitu dekat dari jalan setapak di lebat hutan bambu petung (Dendrocalamus asper) di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Auman itu menuntut kami bersiaga sepanjang jalan ke Renah Kemumu, desa tua yang berada tepat di atas garis Sesar Besar Sumatera. ”Renah Kemumu desa yang mungkin tertua di Jambi,” kata arkeolog dari Balai Arkeologi Palembang, Tri Marhaeni.
Menurut Tri, penelitian gabungan tim arkeologi Indonesia dengan para arkeolog Jerman tahun 2008 di sekitar situs megalitik Batu Lauh di pinggir Renah Kemumu menemukan pecahan gerabah berusia 3.400 tahun. Pada tahun 2009, gempa berkekuatan 7 skala Richter mengguncang desa ini. Beberapa rumah rusak, tetapi tak ada satu pun korban jiwa. Warga membangun kembali desanya secara gotong royong.
Kabar tentang desa tua di tengah hutan yang telah berkali-kali diguncang gempa inilah yang membawa kami menapak lebat hutan TNKS pada pengujung Maret 2012 itu.
Tapak harimau
Alek yang menjadi penunjuk jalan mengatakan, Renah Kemumu masih tujuh jam lagi. Radiyal (35), porter dari Lempur Mudik, berhenti dengan napas terengah. Pria bertubuh gempal itu menyandarkan punggungnya di pohon aro yang menjulang.
”Alah tuo,” ujar Radiyal sambil tersenyum jenaka. Dia menjelaskan dirinya sudah tua, tidak sekuat lima tahun lalu. Dulu, jarak 36 kilometer dari Lempur ke Renah Kemumu bisa ditempuhnya dalam delapan jam. ”Kalau sekarang bisa lebih dari sepuluh jam,” katanya. ”Apalagi musim hujan begini.”
Jalan setapak berlumpur itu membuat tapak sepatu lengket. Bahkan, jika salah langkah, bisa terperosok lumpur sedalam lutut. Pohon raksasa yang tumbang kerap kali menghalangi jalan, memaksa kami memutar mencari jalan baru. Pacet dan lintah daun yang bisa melenting menunggu di setiap jengkal langkah. ”Jalan ini biasanya hanya dilalui seminggu sekali saat warga Renah Kemumu menjual hasil bumi ke Lempur,” kata Alex.
Kami sudah enam jam berjalan menembus lebat hutan. Senja menjelang. Aleksander terus saja berjalan. ”Sebelum malam kita harus sampai di pinggir desa,” kata Alek, ”Kalau malam jalan ini dipakai lewat Raja Hutan.”
Terlambat. Sang Raja Rimba sudah berkeliaran di jalan setapak itu. Di turunan panjang menuju Sungai Mendiket Kecil, Alek menunjukkan tapak-tapak kaki harimau yang masih segar.
TNKS menjadi rumah terakhir harimau sumatera yang jumlahnya terus menyusut. Pemangsa di puncak piramida makanan itu populasinya di alam liar tinggal sekitar 500 ekor. Lembaga HarimauKita mencatat, mulai tahun 1998 hingga 2012 terjadi lebih dari 560 konflik antara warga dan harimau. Selama itu pula, lembaga itu mencatat 57 orang tewas dan 46 harimau mati terbunuh akibat konflik ini.
Konflik manusia dengan harimau sumatera sudah berlangsung lama. Menurut catatan William Marsden dalam buku History of Sumatera yang ditulis tahun 1783, ”Jumlah orang yang dibantai harimau sangat banyak. Saya bahkan pernah mendengar tentang sebuah desa yang penduduknya habis dimangsa harimau.”
Walaupun banyak korban jatuh, menurut Marsden, masyarakat Sumatera saat itu jarang yang berburu harimau. ”Kepercayaan mistik yang sangat kuat membuat warga enggan berburu harimau,” tulis Marsden. Padahal, Belanda menawarkan uang banyak bagi orang yang bisa membunuh harimau.
Jalan berkelok, naik, dan kemudian menurun terjal hingga Sungai Mendiket Kecil. Air sungai sebening kaca, menawarkan kesejukan. Namun, langit kian gelap. Kami tak bisa berhenti lama.
Di lokasi ini, dua tahun lalu, Tri Marhaeni dibuat menggigil karena melihat sosok harimau. Waktu itu Tri kemalaman dan membuat bivak di dekat sungai. Sebelum tidur dia ke sungai membersihkan lumpur di kaki. ”Tiba-tiba saya lihat sorot mata menyala harimau di seberang sungai.” Marhaini pun langsung berlari ke bivak dan tidak keluar lagi sampai pagi. Malam itu dia tak bisa memejamkan mata.
Di tepi sungai sore itu, kami juga menemukan jejak kaki harimau yang besarnya melebihi telapak tangan orang dewasa. ”Saya baru lihat yang sebesar ini,” ujar Alek membuat jeri.
Kami berjalan kesetanan, dihantui jejak tapak dan auman harimau.
Hari sudah gelap saat memasuki tepi Desa Renah Kemumu. Bunyi kincir air terdengar ritmis, tek-tek-tek..., sementara di kejauhan nyala lampu listrik ibarat kunang-kunang di kelam malam. ”Listriknya dari kincir air ini,” kata Alek.
Tiba di Renah Kemumu sudah pukul 22.00. Rumah-rumah panggung kayu berjejer rapi. Suasana temaram. Beberapa pemuda yang duduk-duduk di kolong rumah terkejut melihat kedatangan kami. Alek lalu menemui salah satu kenalannya, Erwin (30).
Kami disambut dengan keramahan. Istrinya segera menyiapkan makan malam. Ikan semah kecil dan sambal menjadi lauk yang membasuh segenap penat dan lapar setelah 10 jam lebih jalan kaki. Hingga malam, kami berbagi kisah tentang jejak harimau yang bertebaran di sepanjang perjalanan. Namun, warga Renah Kemumu hanya tersenyum. Bagi mereka, harimau bukanlah teror menakutkan.
Harmoni
Pagi harinya, gerimis dan kabut menyelimuti desa. Udara dingin. Namun, seiring matahari terbit, gerimis menghilang. Warga mulai ke sawah dan kebun kopi serta kayu manis di pinggir desa.
”Semua tanaman di sini tumbuh subur tanpa dipupuk,” kata Erwin, dalam perjalanan menuju bukit kecil di pinggir kampung. Berada di lembah yang diapit Bukit Barisan,
Renah Kemumu diberkahi tanah subur dan air berlimpah. Tanpa dipupuk, setiap hektar kebun rata-rata menghasilkan satu ton kopi per tahun.
Walaupun hasil berlimpah, harga jual hasil bumi di Renah Kemumu sangat rendah. Para pengepul yang datang biasanya hanya menghargai kopi seharga Rp 14.000 per kilogram atau lebih murah Rp 6.000 dibandingkan dengan di Lempur Mudik.
Rendahnya harga hasil bumi berbanding terbalik dengan harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi. Harga minyak tanah mencapai Rp 15.000 per liter atau lebih mahal Rp 5.000 dibandingkan dengan di Lempur. Demikian halnya gula yang mencapai Rp 15.000 per kilogram.
Selain listrik dari pembangkit listrik mikrohidro yang dibangun melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, tak ada jejak pembangunan yang diprakarsai pemerintah di Renah Kemumu.
Lokasi desa yang ada di dalam taman nasional menjadi penghambat pembangunan jalan. Namun, bagi warga Renah Kemumu, bukan jalan aspal yang paling mereka butuhkan. ”Selama ini kami juga biasa hidup tenang dengan segala keterbatasan akses terhadap luar,” kata Ibnu Hajar (60), mantan kepala desa dan tokoh Renah Kemumu.
Yang paling dibutuhkan, menurut Ibnu adalah ketersediaan pendidikan. Selama ini, di Renah Kemumu baru ada sekolah dasar. ”Sekolah menengah pertama baru dibangun,” kata Ibnu. ”Hanya saja, kenapa bangunannya batu bata. Kalau gempa bisa roboh. Harusnya dibangun dari kayu.”
Bagi warga Renah Kemumu, bangunan haruslah terbuat dari kayu yang telah terbukti lebih tahan terhadap gempa. Pengalaman hidup di atas zona Patahan Sumatera yang kerap diguncang gempa membuat warga Renah Kemumu sadar untuk membangun rumah dengan konstruksi panggung, fondasi batu umpak, dan atap seng yang lebih tahan gempa.
Selain aturan tentang pembangunan rumah tahan gempa, masyarakat Renah Kemumu juga memiliki sejumlah aturan adat untuk melestarikan sumber daya alam. Misalnya, warga dilarang mengambil ikan dengan racun dan dilarang menebang pohon di hulu air.
”Untuk membangun rumah, biasanya kayunya diambil dari hutan adat atau dari kebun sendiri. Tidak boleh ambil kayu sembarangan di hutan,” kata Ibnu. Bagi yang melanggar, menurut Ibnu, dendanya cukup berat, mulai dari denda berupa uang, kambing, hingga diasingkan dari kehidupan sosial.
Dari desa tua di pedalaman rimba Jambi, kita bisa belajar hidup harmonis bersama alam....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar